Sabtu, 28 Maret 2009

Save Our Love


Cintailah orang yang engkau cintai itu sekedarnya saja, sebab barangkali suatu hari dia akan menjadi orang yang engkau benci, dan bencilah orang yang tidak engkau sukai itu sekedarnya saja sebab barangkali suatu hari dia akan menjadi orang yang kamu cintai” (HR. Turmidzi)

Yang mendorong saya untuk menyampaikan hadits ini adalah keprihatinan saya atas kondisi cinta anak muda saat ini. Mereka begitu mencintai seorang yang disebut pacar dengan sangat berlebihan. Mereka bisa memberikan segalanya pada kekasihnya, apapun yang dimintanya termasuk sesuatu yang tidak seharusnya diberikan, dengan dalih cinta. Semua itu sangat mungkin akan berujung pada penyesalan panjang. Padahal pacar itu belum tentu akan menjadi orang yang sah menjadi istri atau suaminya nanti. Jika ada yang mengatakan pasti, berarti dia telah mendahului takdir Allah. Kalo sudah begini, apa tidak berpeluang membuat Allah marah? ”Lah kok sok tahu banget, emang Tuhannya siapa?” kata Allah (dengan bahasa kita tentunya). Nah, jika Allah marah, kemudian Dia merubah perasaan masing-masing; yang semula cinta menjadi benci, apa yang akan terjadi? Sakit hati, ya toh?? Mudah bagi Allah untuk merubah apa yang ada di dalam hati hamba-Nya karena Dia adalah Muqallibal Qulub, Sang Pembolak-balik hati.

Sudahlah sobat, klo belum waktunya gag usah ngasih cinta yang gede-gede. Lagian ngapain kita ngasih cinta pada orang yang gag seharusnya kita kasih? Cinta kita terlalu suci untuk dibagi pada seorang yang tidak jelas apakah dia takdir kita atau bukan. Cinta itu hanya boleh ada setelah akad nikah, ato minimal beberapa hari sebelumnya untuk lebih memantapkan hati pada pilihan.

Wallahu a’lam bishshawab.

Pasti masih banyak lagi hikmah dari penerapan hadits ini dalam dimensi kehidupan yang lain. Saya yakin teman-teman lebih kreatif, silakan berekspresi atas hadits dari Imam Turmidzi ini, syukron.

Semoga bermanfaat.

Jumat, 06 Maret 2009

Hadits-Hadits Cinta

Setiap orang pasti pernah merasakan dan mengalami cinta, suatu perasaan yang membuat hidup ini penuh arti, penuh rasa, dan membuat hidup ini menjadi dinamis. Kita telah mengenal cinta sejak kita dilahirkan, saat itu kita mencintai (maaf) puting susu ibu karena dari situlah sumber kebutuhan biologi kita tercukupi. Setelah itu kita tumbuh menjadi seorang bocah yang bisa merasakan kasih sayang kedua orang tua dan kitapun mencintai mereka. Setelah itu kita tumbuh menjadi remaja yang telah baligh dan mulai mempunyai rasa ketertarikan terhadap lawan jenis, kemudian kita menjadi dewasa yang telah menemukan jatidiri sehingga apa yang kita cintaipun menjadi beragam; ada yang cinta harta, kekuasaan, ilmu, popularitas, dll.

Setiap orang bisa saja memiliki makna yang berbeda-beda tentang cinta, hal tersebut adalah wajar karena pengalaman dan pengetahuan tentang cinta mereka juga berbeda. Namun, marilah sejenak kita melihat arti cinta dari dua tradisi dunia yang berbeda, yaitu dunia barat dan dunia timur. Dari dunia barat kita mengenal cinta dengan sebutan ”love”. Cinta disini diartikan sempit sebagai suatu hubungan dua individu yang umumnya berakhir dengan suatu aktivitas seksual, jadi cinta itu adalah hubungan seksual. Menurut Dr. Shahba’ Muhammad Bunduq dalam bukunya ”Kaifa Nafham al-Hubb”, orang barat mengangap tidak ada perbedaan antara perasaan hati dan kenikmatan fisik. Bahkan mereka biasa menyebut berhubungan intim antara laki-laki dan perempuan dengan sebutan ”making love”; bercinta. Berbeda dengan budaya timur, yang diwakili oleh bangsa Arab, cinta disebut ”al-hubb” (yang menjadi nama dari blog ini :) ), yang berarti mencakup perasaan secara umum, dan tidak hanya terbatas pada pengertian dangkal yaitu hanya sebatas hubungan fisik antara pria dan wanita. Meskipun hubungan antara pria dan wanita terkandung dalam kosa kata tersebut, tetapi ia dibarengi dengan makna-makna yang menunjukkan kehangatan. Sebagai orang Indonesia, seharusnya kita menganut pengertian cinta dari budaya timur ini.

Perasaan cinta bisa menjadi suatu jalan kebahagiaan yang tiada tara bagi seorang manusia, pun bisa menjadi suatu siksaan yang amat menyakitkan; semua tergantung dari cara kita memandang dan meraih cinta. Ajaran Islam telah mengatur umatnya dalam mengamalkan cinta. Jika Kang Abik telah memberikan sebagian contoh ayat-ayat cinta, maka saya akan melengkapi dengan hadits-hadits cinta yang pastinya shahih, hadits tersebut antara lain:

Dari Anas ra. dari Nabi SAW. bersabda: ”Tiga perkara yang apabila terdapat pada diri seseorang, niscaya ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: Hendaknya Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya daripada yang lain. Hendaklah bila ia mencintai seseorang semata-mata karena Allah. Hendaklah ia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci kalau akan dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari)

Penjelasan
Nabi SAW. menjelaskan bahwa ada tiga hal yang apabila diamalkan oleh seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman. Manis disini menunjukkan arti nikmat, senang, suka terhadap iman. Apabila seseorang merasa nikmat terhadap sesuatu maka ia tidak akan rela apabila sesuatu itu lepas dan hilang dari dirinya, apalagi kenikmatan itu adalah kenikmatan iman, suatu anugerah terbesar yang seharusnya kita syukuri dan harus benar-benar dipertahankan sampai akhir hayat kita. Jika kita berhasil mempertahankan iman sampai ajal menjemput, maka demi Allah, surga telah menanti kita. Tiga hal yang dapat menimbulkan manisnya iman tersebut adalah;

1. Mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi kecintaan terhadap yang lain
Mencintai Allah dan rasul-Nya harus kita tempatkan pada urutan teratas dari daftar siapa yang kita cintai. Mencintai Allah dan rasul-Nya berarti kita bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa kepada Allah, menuntut ilmu yang berkenaan dengan sunnah Rasulullah SAW. dan mengamalkannya. Kepentingan Allah dan rasul-Nya harus kita jadikan prioritas utama dibandingkan dengan urusan lain.
Orang yang mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi kecintaan lainnya akan memperoleh kenikmatan yang kekal. Sebaliknya orang yang mencintai sesuatu melebihi kecintaannya terhadap Allah dan rasul-Nya hanya akan memperoleh kenikmatan nisbi (sementara).

2. Mencintai seseorang karena Allah
Agama mengajarkan cinta dan benci itu bukan karena orangnya, tetapi karena perbuatannya, apakah ia mengikuti ajaran Allah atau malah menyimpang dari ajaran Allah. Jika kita mencintai karena orangnya, seperti karena ia cantik/tampan, atau karena ia kaya, dll.; maka sangat besar kemungkinan kita akan terbutakan oleh cinta itu, sehingga tidak lagi dapat membedakan antara yang baik dan buruk. Jika kita mencintai seseorang karena ia mengikuti ajaran Allah, maka insyaallah hidup kita akan lebih berkualitas karena setiap saat kita akan berusaha memperbaiki diri untuk senantiasa bersama mendekatkan diri kepada Allah.

3. Benci kepada kekufuran seperti benci jika dicampakkan ke dalam api neraka.
Siapapun orangnya, pasti tidak akan mau apabila dimasukkan ke dalam api neraka yang di dalamnya penuh dengan siksaan yang tak pernah kita bayangkan. Dalam suatu riwayat diceritakan oleh Nabi SAW. bahwa siksaan paling ringan dalam neraka adalah seseorang yang cuma berdiri sedangkan otaknya mendidih karena panasnya neraka, na’udzubillah min dzalik. Satu syarat terakhir agar kita bisa merasakan manisnya iman adalah kita harus punya semangat untuk menjauhi kekufuran sama seperti semangat kita untuk tidak mau dimasukkan ke dalam neraka.
Kufur artiya menolak kebenaran, dan orang yang menolak kebenaran dalam Islam disebut kafir. Orang kafir menolak kebenaran, atau perintah Allah, dan mengikuti keinginan hawa nafsunya sendiri.

Wallahu a’alam bishshawab. Semoga bisa bermanfaat untuk kita semua, amin.

Nantikan hadits selanjutnya tentang cinta terhadap selain Allah, berapakah kadar yang seharusnya kita berikan pada dia….. CU :)

Rabu, 25 Februari 2009

Sebuah Kelucuan di PPMH

Ini adalah peristiwa yang menimpa teman sekelasku di Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda (MMH) Pondok Pesantren Miftahul Huda (PPMH) kota Malang. Gag fatal sih, cuma bikin malu. Kejadiannya saat ngaji diniyah pelajaran Bahasa Arab, temanku ini mamanya Arif (bukan nama samaran, lo juga gag bakalan tahu… :)), dia adalah santri yang kurang memperhatikan saat ustad menerangkan pelajaran. Saat itu, seperti biasa dia datang terlambat saat ustad, Pak Alfan sedang menerangkan pelajaran (di PPMH ustad dan pengurus memang dipanggil ”Bapak”). Bukannya langsung konsen pada pelajaran, dia malah asik bercanda dengan teman di sebelahnya. Singkat cerita Pak Alfan selesai menerangkan, mulailah beliau bertanya pada santrinya untuk sekedar mengetahui apakah pelajarannya berhasil diserap dengan baik. Satu persatu santri diberi pertanyaan oleh beliau dan selalu mendapat balasan ”jayyid” yang artinya “bagus”. Sampailah akhirnya pertanyaan pada Arif,

“Coba, Cak Arif, apa bahasa arabnya ‘saya biasa shalat malam’?” tanya Pak Alfan.
Karena benar-benar tidak siap, Arif pun gerilya tanya kiri-kanan,

“Heh, apa?” tanya Arif pada teman sebelahnya. Berbekal bisikan temannya Arif berani menjawab,

Ana ata’awwadu ‘ala ……” sampai disini jawabanya terhenti karena tidak mengerti bahasa arabnya shalat malam. Merasa kasihan, Rusdi, seorang temannya membisikkan sebuah kata dan langsung ditirukannya,

Ana ata’awwadu ‘ala ma’ashi!!” ulang Arif mantap dengan penekanan pada kata terakhir.
Kontan seluruh kelas bergemuruh oleh tawa. Ternyata Rusdi bukannya membantu, tapi justru mengerjai karena ma’ashi artinya maksiyat. Jadi, yang diucapkan Arif berarti, ‘aku biasa melakukan maksiyat’, hehehehehehe……

Makanya Cak, nek ngaji seng temenan!!

Kamis, 19 Februari 2009

Indahnya Kebersamaan Diantara Perbedaan

Hari minggu, tanggal 28 Desember 2008, aku termasuk orang yang beruntung berada di tengah jamaah yang menghadiri pengajian KH. Marzuki Musytamar, seorang ketua PC NU kota Malang. Dalam pengajiannya, Kiai Marzuki bercerita, suatu saat beliau diundang untuk menghadiri pernikahan putra Pak Taufiq, salah seorang ketua Muhammadiyah kota Malang, tapi beliau sengaja tidak hadir pada pernikahan itu.

Karena beda ormas Islam kah?

Bukan. Beliau sengaja tidak hadir pada pernikahan itu karena beliau yakin tidak akan bisa ngobrol sampai puas dengan Pak Taufiq jika hadir pada hari H karena begitu banyaknya undangan yang hadir. Beliau tidak hadir pada hari H tetapi mengganti pada esok harinya saat Pak Taufiq tidak terlalu repot oleh para tamu. Jadilah kedua tokoh ormas Islam yang berbeda ini berdiskusi hingga dua jam lamanya. Keduanya memang akrab. Bahkan Pak Taufiq tidak segan-segan untuk meminta pendapat Kiai Marzuki tentang siapa kader Muhammadiyah yang layak untuk dicalonkan untuk menjadi anggota legislatif kota Malang lewat PAN. Kiai Marzukipun memberikan masukan-kasukan sesuai apa yang diketahuinya.

Subhanallah, betapa sebenarnya perbedaan itu bukanlah suatu musibah, bahkan akan menjadi indah jika kita mengetahui dan menyikapi dengan arif karena semua itu adalah kehendak Allah. Bukan bersikap seperti golongan yang memaksakan keyakinan yang dianggapnya benar terhadap golangan lain, bahkan menganggap kafir golongan yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Nabi SAW. pernah bersabda, ”Orang Islam yang menganggap kafir orang Islam yang lain, maka dia sendirilah yang kafir.”

Berkenaan dengan perbedaan ini Allah SWT. Berfirman, ”Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia akan menjadikan kalian satu keimanan yang tunggal, tapi yang Dia kehendaki adalah menguji kalian dengan apa yang Dia anugrahkan kepada kalian. Maka, utamakanlah beramal kebaikan, kepada Kamilah kalian akan kembali; dan akan Aku jelaskan kepada kalian perihal apa yang kalian perselisihkan.” (QS. Al-Maidah: 48) ”Tuhanmu yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia pulalah yang lebih tahu siapa yang mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-An’am: 117)


Nah, mengapa masih memaksakan diri?

Merasa paling benar….??

Jumat, 13 Februari 2009

Bidadari Impian

Sebenarnya….
Aku tahu siapa yang kucinta
Dia yang bersemayam dalam dada
Dia yang memantik rindu dendam
Dia yang slalu mengintaiku di balik awan
Meski tak pernah kujumpai eloknya
Namun kutahu dia slalu ada disana

Entah sampai kapan rasa ini tersimpan
Atau sebenarnya dia tlah jua tahu
Dan bosan menunggu
Ah tak mungkin, aku tahu dia

Kuyakin…..
Dia kan kumiliki
Karena Allah hanya ciptakannya untukku

Untukmu bidadari surgaku, sabarlah menunggu
Ingatkanku dalam khilafku
Hadirlah kau dalam mimpi-mimpiku
Sejukkan setiap amarahku
Tenangkan riak hatiku
Kupun merindukanmu.

Senin, 02 Februari 2009

Keikhlasan Hati Seorang Suami Karena Cinta Kepada Allah

Di kamar yang amat sederhana. Di atas dipan kayu ini aku tertegun lama. Memandangi istriku yang tengah tertunduk dan diam seribu bahasa. Setelah sekian lama saling diam, akhirnya dengan membaca basmalah dalam hati kuberanikan diri untuk menyapanya.

Assalamu’alaiki…. permintaan hafalan Qur’annya mau dibacakan kapan, Dek?” tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sejak tadi disembunyikan dalam tunduknya. Sebelum menikah, istriku memang pernah meminta malam pertama hingga ke sepuluh agar aku membacakan hafalan Qur’an tiap malam satu juz. Dan permintaan itu telah aku setujui. ”Nanti saja saat qiyamullail,” jawab istriku masih dalam tunduknya.

Wajahnya yang berbalut kerudung putih, ia sembunyikan dalam-dalam. Saat kuangkat dagunya, ia seperti ingin menolak. Namun, ketika aku beri isyarat bahwa aku suaminya dan berhak untuk melakukan itu, ia pun menyerah. Kini aku tertegun lama. Benar kata ibu bahwa istriku “tidak menarik”. Sekelebat pikiran itu muncul dan segera aku mengusirnya. Matanya berkaca-kaca menatap lekat pada bola mataku.

”Bang, sudah saya katakan sejak ta’aruf (awal perkenalan), bahwa fisik saya seperti ini. Kalau Abang kecewa, saya siap dan ikhlas. Namun bila Abang tidak menyesal beristrikan saya, mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan yang banyak untuk Abang. Seperti keberkahan yang Allah limpahkan kepada Ayahanda Imam Malik yang ikhlas menerima sesuatu yang tidak ia sukai pada istrinya. Saya ingin mengatakan pada Abang akan firman Allah yang dibacakan ibunya Imam Malik pada suaminya pada malam pertama mereka,”Dan bergaullah dengan mereka (istrimu) dengan baik (ma’ruf). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjanjikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisa: 19)

Mendengar tutur istriku, kupandangi wajahnya yang penuh dengan air mata itu lekat-lekat. Aku teringat kisah suami yang rela menikahi seorang wanita yang cacat itu. Dari rahim wanita itulah lahir Imam Malik, ulama’ besar ummat Islam yang namanya abadi dalam sejarah. ”Ya Rabbi aku menikahinya karena-Mu. Maka turunkanlah rasa cinta dan kasih sayang milik-Mu pada hatiku untuknya. Agar aku dapat mencintai dan menyayanginya dengan segenap hati yang ikhlas.

Pelan kudekati istriku. Lalu dengan bergetar, kurengkuh tubuhnya dalam dekapku. Sementara, istriku menangis tergugu dalam wajahnya yang masih menyisakan segumpal ragu. ”Jangan memaksakan diri untuk ikhlas menerima saya Bang. Sungguh… saya siap menerima keputusan apapun yang terburuk,” ucapnya lagi.

"Tidak Dek, sungguh sejak awal, niat Abang menikahimu karena Allah. Sudah teramat bulat niat ini. Hingga Abang tidak menghiraukan ketika seluruh anggota keluarga memboikot untuk tidak datang saat akad tadi pagi,” paparku sambil meggenggam erat jemarinya. Malam telah naik ke puncaknya pelan-pelan. Dalam lengangnya malam, bait-bait doa kubentangkan pada-Nya.
Rabbi, tak kupungkiri bahwa kecantikan wanita dapat mendatangkan cinta buat laki-laki. Namun telah kutepis memilih istri karena rupa yang cantik, karena aku ingin mendapatkan cinta-Mu. Rabbi, saksikanlah malam ini akan kubuktikan bahwa cinta sejatiku hanya akan kupasrahkan pada-Mu. Karena itu pertemukanlah aku dengan-Mu dalam jannah-Mu!” Aku beringsut menuju pembaringan amat sederhana itu. Lalu kutatap raut wajah istriku dengan segenap hati yang ikhlas. Ah, sekarang aku benar-benar mencintainya. Kenapa tidak? Bukankah ia wanita shalihah sejati. Ia senantiasa menegakkan malam-malamnya dengan munajat panjang pada-Nya. Ia senantiasa menjaga hafalan kitab-Nya. Dan senantiasa melaksanakan shaum sunnah rasul-Nya.

Ya Allah, sesungguhnya aku ini lemah, maka kuatkan aku. Dan aku ini hina, maka muliakanlah aku. Dan aku fakir, maka kayakanlah aku wahai Dzat Yang Maha Pengasih.

Diceritakan kembali dari cerita yang berjudul "Gejolak Jiwa di Malam Pertama" dari Tabloid Media Ummat yang beralamat di JL. Wilis 11 Malang, edisi 59/ tahun ke-2.


Pertama kali membaca cerita ini, hatiku tergetar. Mampukah aku bersikap seperti tokoh suami yang begitu ikhlas menerima istrinya karena cintanya kepada Allah, hanya karena ia tahu bahwa istrinya adalah seorang muslimah sejati??? Aku cuma bisa berusaha....